Pemerintah Hadapi Utang Rp800 Triliun Jatuh Tempo, Skema Refinancing Jadi Solusi Utama
Pemerintah dihadapkan pada tantangan besar dengan utang senilai Rp800 triliun yang akan jatuh tempo pada tahun 2025.
Dalam situasi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengandalkan strategi refinancing atau menerbitkan utang baru untuk melunasi utang lama.
Angka ini mencakup Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun.
Sebagian dari total utang tersebut juga merupakan sisa kebijakan burden sharing dengan Bank Indonesia selama pandemi Covid-19, dengan tagihan mencapai Rp100 triliun.
Sri Mulyani menyatakan, pemerintah akan mengevaluasi penerbitan surat utang di pasar domestik maupun internasional untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
"Kami akan mengevaluasi seberapa banyak penerbitan surat utang di pasar domestik dan internasional," ungkap Sri Mulyani pada Sabtu, 16 November 2024.
Ia optimistis pasar keuangan saat ini masih kondusif untuk menyerap penerbitan utang baru.
Untuk memastikan keberhasilan strategi ini, pemerintah berkomitmen menjaga stabilitas makroekonomi dan kredibilitas tata kelola fiskal.
Menurut Sri Mulyani, kepercayaan investor merupakan kunci utama dalam menjalankan skema refinancing ini.
"Mereka [investor] biasanya akan menunggu kami mengeluarkan surat utang baru, kemudian mereka tinggal melanjutkan investasi jika mereka percaya pada APBN dan tata kelola keuangan negara," tambahnya.
Langkah ini dirancang agar surat utang yang sebelumnya dipegang oleh Bank Indonesia dapat dialihkan kepada investor lain, termasuk investor asing.
Utang yang jatuh tempo tersebut mencerminkan beban kebijakan selama masa pandemi.
Kala itu, pemerintah terpaksa menambah anggaran belanja hampir Rp1.000 triliun untuk mengatasi dampak ekonomi dan kesehatan akibat pandemi.
Surat utang dengan tenor tujuh tahun diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan anggaran darurat, sehingga beban keuangan menjadi besar pada 2025.
Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah akan terus berupaya mengelola utang dengan hati-hati guna menjaga kesehatan APBN di tengah tantangan ekonomi global.(*)