Mufti Anam Soroti Dugaan Diskriminasi Susu Lokal, Peternak Merugi Akibat Pilihan Susu Impor
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyoroti tindakan peternak sapi perah yang terpaksa membuang susu hasil produksi mereka akibat tidak terserap oleh Industri Pengolahan Susu (IPS). Kondisi ini menyebabkan para peternak mengalami kerugian yang signifikan.
Mufti mengungkapkan adanya aduan dari masyarakat mengenai dugaan keterlibatan oknum Pemerintah yang menginstruksikan perusahaan atau pabrik untuk lebih memilih menggunakan susu impor dibandingkan susu lokal.
"Pemerintah perlu memprioritaskan peternak lokal kita. Jangan sampai karena adanya impor susu yang seharusnya untuk mendukung program bergizi, justru malah mengorbankan peternak lokal," ujar Mufti kepada wartawan, Sabtu, 16 November.
Protes dari peternak susu perah ini terjadi di berbagai daerah, termasuk di Pasuruan, Jawa Timur, yang merupakan daerah pemilihan (Dapil) Mufti. Beberapa peternak bahkan melancarkan aksi mandi susu dan membuang susu hasil produksi mereka karena merasa tidak dihargai oleh industri pengolahan susu.
Mufti menjelaskan bahwa peternak di Pasuruan mengeluhkan praktik tidak adil dari pihak pabrik. Awalnya, pabrik berdalih sedang tidak beroperasi akibat perbaikan sehingga tidak bisa menyerap susu lokal. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa pabrik tetap beroperasi tetapi menggunakan susu impor.
Lebih jauh, Mufti menuturkan adanya dugaan keterlibatan oknum Pemerintah dalam mendukung penyerapannya susu impor oleh pabrik.
“Bahkan katanya ada instruksi dari oknum Pemerintah untuk bagaimana mereka (pabrik) bisa menyerap susu dari impor ini,” ungkapnya.
Mufti menilai bahwa lemahnya kontrol Pemerintah menjadi penyebab utama masalah ini. Pemerintah dinilai terlalu membuka keran impor susu secara luas tanpa disertai perlindungan untuk peternak lokal. Salah satunya adalah bebasnya pajak untuk susu impor dari negara-negara seperti Selandia Baru dan Australia yang memanfaatkan perjanjian perdagangan bebas (FTA), membuat harga susu impor lebih murah hingga 5 persen dibandingkan susu lokal.
Padahal, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33 Tahun 2018 telah mengatur kewajiban perusahaan pengolahan susu untuk bermitra dengan koperasi peternak rakyat. Namun, kenyataannya, perusahaan yang bekerja sama dengan peternak lokal hanya sekitar 20 persen dari total pelaku usaha pengolahan susu.
“Dalam beberapa bulan terakhir, permintaan susunya diturunkan bahkan terakhir-terakhir tidak mengirim ke pabrik. Sangat disayangkan sikap seperti itu. Seharusnya mereka bisa duduk bersama untuk menemukan solusi yang saling menguntungkan," ujar Mufti.
Sebagai legislator dari Dapil Jawa Timur II, Mufti menekankan pentingnya pemberdayaan peternak lokal oleh Pemerintah. Ia mendorong adanya intervensi seperti program-program yang mampu meningkatkan produktivitas peternak sapi perah lokal.
"Sebenarnya mudah saja bagi Pemerintah untuk bagaimana bisa menyerap susu para petani lokal. Bagaimana peran Pemerintah memberdayakan para peternak ini," tutupnya.
Masalah ini menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih berpihak kepada peternak lokal agar tidak tergilas oleh praktik impor yang kurang terkontrol.(*)