Jakarta - Yusril Ihza Mahendra diusulkan menjadi Menko Polhukam di kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka oleh partai yang ditinggalkannya, Partai Bulan Bintang (PBB). Lantas, ke mana kah sebenarnya Yusril akan melangkah selanjutnya?
Langkah politik Yusril belum terlihat setelah mundur dari jabatan Ketua Umum PBB pada Sabtu (18/5) yang lalu. Saat itu permintaan Yusril mundur diterima oleh peserta MDP yang terdiri atas DPP PBB, Dewan Pimpinan Wilayah serta badan-badan khusus dan otonom PBB yang seluruhnya berjumlah 49 suara dalam pengambilan keputusan.
"Dalam pemungutan suara untuk memilih Penjabat Ketua Umum, Ketua Mahkamah Partai PBB Dr Fahri Bachmid mendapat dukungan 29 suara, sementara Ir Afriansyah Noor MSi, Sekjen DPP PBB memperoleh dukungan 29 suara. Dengan demikian, sesuai ART PBB, MDP mensahkan Dr Fahri Bachmid menjadi Penjabat Ketua Umum PBB sampai terpilihnya Ketua Umum PBB defenitif hasil Muktamar PBB yang akan datang, yang disepakati MDP akan dilaksanakan selambat-lambatnya akhir Januari 2025," demikian keterangan pers yang diterima detikcom, Sabtu (18/5) yang lalu.
Yusril menjelaskan bahwa dirinya sudah terlalu lama memimpin partai sejak PBB berdiri di awal Reformasi tahun 1998. Dia menyebut sudah saatnya terjadi regenerasi dalam kepemimpinan PBB. Yusril kini berusia 68 tahun dan digantikan Fahri Bachmid yang berusia 46 tahun.
Yusril menambahkan bahwa dia akan tetap aktif dalam dunia politik dalam kapasitasnya sebagai pribadi dengan latar belakang akademisi dan pengalaman yang cukup panjang dalam dunia politik di tanah air, tanpa dibatasi oleh keterikatan dengan sebuah partai politik.
Dengan bertindak sebagai pribadi di luar partai, menurut Yusril, dirinya akan dapat lebih leluasa menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk turut serta dalam memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara kita, khususnya dalam membangun hukum dan demokrasi di negara kita ini.
Selanjutnya perubahan terbatas AD/ART PBB dan terpilihnya Penjabat Ketua Umum ini akan dituangkan dalam Akta Notaris untuk selanjutnya dimohonkan pengesahannya kepada Menteri Hukum dan HAM sesuai ketentuan UU Partai Politik.
Yusril Hengkang dari PBB
Ternyata manuver Yusril tidak hanya mengundurkan diri dari jabatan Ketum PBB. Dia juga memutuskan untuk meninggalkan PBB.
"Iya baru saya pahami di hari-H pelaksanaan (Musyawarah Dewan Partai) kemarin bahwa dia (Yusril) berniat ingin mundur, berada di luar partai. Alasannya capek, kemudian ingin berdiri sendiri, profesional," kata Sekjen PBB Afriansyah Noor saat dihubungi, Minggu (19/5).
"Ya intinya dia hengkang dari partai, tidak lagi mengurus partai," imbuh Afriansyah.
friansyah menceritakan keputusan Yusril itu pun memantik gejolak di internal partai. Dia menuturkan sempat ada perdebatan mekanisme pemilihan Penjabat (Pj) ketum apakah dilakukan dengan aklamasi atau pemilihan suara (voting).
"Oleh karena itu, ketika mundur harus menunjuk Pj ketua umum yang akan menyiapkan pelaksanaan Muktamar atau transisi. Jadi pelaksanaannya itu ketika beliau mengatakan mundur itu kita mendadak, saya pribadi, 'Waduh, ini gimana'. Akhirnya kita lihat AD/ART, bagaimana prosedurnya. Jadi bisa aklamasi, tapi kalau tidak suara sama itu bisa voting," jelas Afriansyah.
"Ketika dia minta aklamasi menunjuk ketua mahkamah partai, Pak Fahri Bachmid, teman-teman pendukung saya tidak mau, mereka ingin sudahlah kita pemilihan saja kan 49 orang, nggak lama. Dalam hal menentukan aklamasi dan voting ini berdebat kencanglah, seru. Akhirnya saya bilang ke Bang Yusril, 'Bang, voting aja. Jadi siapa pun yang terpilih kita mendukung. Kalau aklamasi kan kesannya memaksakan kehendak'. Akhirnya Bang Yusril setuju. Saya bilang ketika saya kalah saya akan mendukung keputusan hasil voting," ujar dia.
Yusril Diusulkan Jadi Menko Polhukam
Selang beberapa saat, kini mencuat usulan agar Yusril Ihza Mahendra bisa mengisi jabatan Menko Polhukam. Usulan itu disampaikan oleh Pj Ketum PBB Fahri Bachmid.
Fahri menilai jabatan Menko Polhukam paling sesuai dengan Yusril. Menurutnya, itu juga sesuai dengan kapasitas dan keilmuan Yusril.
"Ya, jadi kan sampai saat ini kan belum tahu dia jabatannya di mana. Tapi kalau andaikan ditanya tentang idealnya beliau, posisi-posisi kementerian itu mungkin lebih tepat sesuai dengan kapasitas dan keilmuannya, itu di Menko Polhukam. Mungkin tempatnya di situ. Karena lebih luas, lebih kepada aspek kebijakan yang jauh lebih holistik, kira-kira beliau bisa pikirkan tentang bagaimana bangun sistem dan sebagainya," kata Fahri kepada wartawan di kediamannya, Kamis (23/5/2024).
Fahri menilai Yusril harus mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari Jaksa Agung. Menurutnya, itu juga sejalan dengan keinginan Yusril untuk membangun sistem.
"Ya kalau Pak Yusril kan harus jabatan yang lebih besar kan. Karena yang beliau pikirkan selama ini kan bagaimana membangun sistem. Kalau menjadi Jaksa Agung kan tidak bangun sistem. Itu eksekutor," ucapnya.
Selain itu, Fahri menyebut Yusril juga terhalang aturan MK terkait Jaksa Agung harus terbebas dari partai politik selama 5 tahun. Menurutnya, itu yang juga menjadi kendala.
"Jadi memang sangat kelihatannya tidak terlalu cocok kalau Pak Yusril jadi Jaksa Agung. Dari segi perundang-undangannya tidak mendukung, ada batasan yang memang sudah diputuskan oleh MK. Dari aspek kapasitas Pak Yusril itu harus lebih kepada bagaimana membangun sistem tata negara. Yang paling cocok untuk nahkodai itu kan ada di menko. Supaya lebih holistik. Kira-kira gitu konsep pikirnya yang bisa tereksekusi menjadi kebijakan negara dan terdukung oleh perubahan-perubahan regulasi. Itu Prof Yusril cocoknya yang kayak gitu. Karena beliau sosok besar," jelasnya.
Meski demikian, Fahri membantah Yusril mundur demi mengejar jabatan Menko Polhukam. Menurutnya, Yusril mundur atas keinginan pribadi.
"Nggak, belum, yang tadi saya ngomong analisis saya andaikan dibutuhkan bangsa dan negara, kalau mau dibutuhkan Prabowo. Tapi mundurnya Pak Yusril itu kan keinginan beliau yang sudah 2 tahun lalu sebelum pilpres ini diselenggarakan, beliau sudah berkepentingan untuk mundur," ujar dia.
(maa/maa)