Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Catatan Hakim MK untuk Jokowi dan Politisasi Bansos di Pilpres 2024

 


Sidang sengketa Pilpres 2024 telah diputuskan oleh Majelis Hakim MK. Hasilnya, MK menolak permohonan Pemohon, baik dari kubu Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud, untuk seluruhnya.

Putusan MK tersebut diputuskan usai delapan Majelis Hakim Konstitusi melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH). 

Hasilnya tidak bulat, lima hakim menolak permohonan Pemohon, dan tiga hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Mereka adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Ketiga Hakim Konstitusi ini memiliki catatan-catatan pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Salah satu yang ditekankan adalah terkait dengan politisasi bansos yang dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Catatan Hakim Enny Nurbaningsih

Hakim Konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda, Enny Nurbaningsih, menilai pada jalannya persidangan sengketa Pilpres 2024 itu ditemukan fakta bahwa tidak ada larangan bagi presiden maupun wakil presiden untuk membagi-bagikan bansos. 

Namun, menurut Enny, kekosongan hukum itu justru dimanfaatkan sebagai pendongkrak elektoral.

“Di antara faktor yang mendukung keadaan ini adalah karena adanya celah hukum yang ada pada aturan Pemilu yang tidak jelas, yang kemudian dimanfaatkan,” bunyi dissenting opinion Enny Nurbaningsih dikutip dari situs MK pada Selasa (23/4).

Enny menekankan perihal etika pada dissenting opinionnya tersebut. Menurutnya, pembagian bansos oleh Jokowi yang dananya berasal dari dana operasional presiden (DOP) meski sudah diatur, ia menyinggung terkait dengan prinsip adil dalam Pemilu.

“Salah satu bentuk perwujudan prinsip adil dalam pemilu adalah adanya upaya agar para peserta pemilu berada pada posisi yang setara,” ucapnya.

“Terlebih, terdapat indikasi dukungan yang jelas terhadap satu pasangan calon maka hal demikian dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak netral dan memberikan keuntungan signifikan bagi pasangan tersebut,” sambungnya.

Masih dalam pendapat berbeda, Enny menekankan integritas seorang pemimpin untuk bisa membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan publik.

“Seorang pemimpin diwajibkan memahami dan menerapkan pentingnya integritas dan tanggung jawab dalam memegang kekuasaan publik, serta perlunya menjaga pemisahan yang jelas antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa,” ungkapnya.

Catatan Hakim Arief Hidayat

Selain Enny, Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga menyampaikan pendapat berbeda dalam dua perkara tersebut. 

Arief menilai bahwa Presiden Jokowi telah terbukti melakukan pelanggaran Pemilu 2024 secara terstruktur dan sistematis. Ia memandang seharusnya permohonan Pemohon dikabulkan oleh MK.

Arief dalam catatannya itu juga memberikan usulan agar ke depan perlu dibentuk undang-undang khusus yang mengatur lembaga kepresidenan.

UU ini dipandang perlu oleh Arief karena Jokowi tidak bisa memisahkan kepentingan pribadi dan publik.

"Perlu juga dibuat Undang-undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detail uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan," jelas Arief.

Catatan Hakim Saldi Isra

Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan bahwa politisasi bansos itu terbukti dalam fakta persidangan sengketa Pilpres 2024. 

Saldi berpandangan seharusnya MK menerima dalil politisasi bansos untuk menghindari praktik serupa terjadi di Pilkada November 2024 mendatang. Dia pun yakin politisasi bansos benar-benar terjadi.

"Dengan menyatakan dalil a quo terbukti, maka akan menjadi pesan jelas dan efek kejut (deterrent effect) kepada semua calon kontestan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah bulan November 2024 yang akan datang untuk tidak melakukan hal serupa," kata Saldi di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (22/4).

"Dengan demikian, saya berkeyakinan bahwa dalil Pemohon terkait dengan politisasi bansos beralasan menurut hukum," sambungnya.

Selain itu, Saldi juga menyinggung pembagian bansos yang lebih masif jelang Pemilu. Selain dibagikan oleh presiden, Saldi juga menyinggung beberapa menteri yang mendukung paslon 02 yang turut membagikan bansos untuk pemenangan Prabowo-Gibran.

“Praktik demikian merupakan salah satu pola yang jamak terjadi untuk mendapatkan keuntungan dalam pemilu (electoral incentive),” ujarnya.

“Keterlibatan beberapa menteri aktif yang menjadi tim kampanye dalam membagi bansos terasosiasi dengan jabatan Presiden secara langsung maupun tidak langsung sebagai pemberi bansos memunculkan, atau setidaknya berpotensi atas adanya konflik kepentingan dengan pasangan calon,” imbuhnya.

Sementara itu, gugatan Pemohon yang mendalilkan bansos untuk mendongkrak suara paslon tertentu ini dipandang tidak beralasan menurut hukum.

Hakim Konstitusi, Arsul Sani menyebut bahwa pembagian bansos itu telah diatur dalam Undang-undang. Arsul mengatakan, pembagian bansos oleh Presiden maupun menteri menjadi fakta hukum yang telah diatur penggunaannya dan pelaksanaannya dalam Undang-undang.

Adapun keterangan saksi maupun ahli yang dihadirkan oleh Pemohon pada jalannya sidang, Arsul menyebut keterangan saksi maupun ahli tidak lengkap, sehingga tidak meyakinkan Majelis MK.

“Andai pun benar terjadi pembagian bantuan kepada masyarakat oleh Presiden, Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah apakah bantuan yang dimaksud oleh Pemohon adalah bansos oleh Kementerian Sosial ataukah bantuan kemasyarakatan oleh Presiden yang bersumber dari dana operasional Presiden,” ujarnya.

“Terhadap dalil Pemohon yang mengaitkan Bansos dengan pilihan pemilih, Mahkamah tidak meyakini adanya hubungan kausalitas atau relevansi antara penyaluran bansos dengan peningkatan perolehan suara salah satu pasangan calon,” imbuhnya.

Sumber berita / artikel asli : Kumparan

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Copyright © 2024 - Muslimtrend.com | All Right Reserved