Jakarta - Tim Kemenangan Nasional atau TKN Prabowo-Gibran merespon pernyataan Peneliti Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar di film dokumenter Dirty Vote tentang perdebatan dukungan kepala desa terhadap pasangan calon tertentu pada Pilpres 2024.
“Intinya mengatakan soal kepala desa, Apdesi yang dikatakan digunakan untuk memenangkan Paslon tertentu. Nah ini juga enggak berdasar, karena tak disebut di kasus mana kepala desa ini sudah kerja,” kata Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman, di Media Center TKN Prabowo Gibran, Jalan Sriwijaya 1 Nomor 16, Jakarta Selatan, Minggu, 11 Februari 2024.
Habiburokhman meminta Zainal merinci kasus kepala desa mana yang disebutkan terindikasi kecurangan. Ia meminta film dokumenter berdurasi 1 jam 57 menit itu membuktikan dan menghadirkan saksi kecurangannya.
“Buktinya ada, saksinya ada, perkaranya sudah dilaporkan, Bawaslu sudah menangani dan Bawaslu sudah membuat keputusan. Ini kan enggak ada semua. Jadi saya pikir, memang sengaja didesain untuk diluncurkan di masa tenang ini,” kata dia.
Menurut dia, rilisnya film garapan Dandhy Laksono itu siasat karena tak mampu lagi bertarung secara adil di Pemilu 2024. Habiburokhman mengatakan, elektabilitas Prabowo-Gibran terus meroket, bahkan sudah tembus batas psikologis aturan 50 persen plus satu suara, sehingga dilakukan cara-cara yang dianggapnya tak adil.
“Kami yakin ini pasti enggak laku, di hati rakyat, karena yang begini rakyat sudah tahu ya. Gini aja, kalau tak suka dengan salah satu Paslon, kan ini pemilu, ya kita dukung Paslon yang lain, kita lakukan cara-cara yang sesuai koridor elektoral,” ujarnya.
Dalam Dirty Vote, Zainal menjabarkan adanya deklarasi dari Desa Bersatu di Gelora Bung Karno, Jakarta pada 19 November lalu, yang kemudian jadi perdebatan dukungan ke salah satu paslon. “Walaupun hanya ada 8 organisasi desa tapi pada dasarnya meliputi 81 juta suara dari jumlah DPT yang ada di republik ini,” katanya.
Zainal mengatakan, berdasarkan penuturan Bawaslu bahwa deklarasi Desa Bersatu adalah sebuah pelanggaran. Ia pun menjelaskan wewenang kepala desa yang potensial disalahgunakan dalam pemilu sehingga magnitude 8 organisasi desa menjadi penting untuk dikuasai.
“Setidaknya ada empat wewenang yang sangat potensial diaalahgunakan, yakni data pemilih, penggunaan dana desa, data penerima bansos, PKH, dan BLT, dan terakhir wewenang alokasi bansos,” katanya.