Kasus pemalsuan data pemilih pemilihan umum (Pemilu) 2024 yang ada di Kuala Lumpur, Malaysia, tengah masuk proses penyidikan. Namun, tersangka belum diberitahu pihak kepolisian.
Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polisi Republik Indonesia (Dirtipidum Bareskrim Polri), Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan, pihaknya kini tengah menyidik persoalan pemilu di Kuala Lumpur.
"Nanti lebih lanjut kita akan pendalaman di proses penyidikan ini. Sementara yang kita dapatkan semacam itu (perkaranya pemalsuan data pemilih)," ujar Djuhandhani dalam jumpa pers bersama Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) Rahmat Bagja, di Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (27/2).
Saat ditanya apakah tersangka sudah ditangkap atau belum, Djuhandhani enggan menjawabnya. Bahkan dia juga merahasiakan pihak yang kemungkinan akan kena pidana, apakah Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) atau pihak lainnya.
Dia juga enggan menjelaskan lebih rinci mengenai kemungkinan pimpinan-pimpinan KPU RI ikut diperiksa, dalam perkara pemalsuan data pemilih di Kuala Lumpur tersebut.
Djuhandhani beralasan, apabila pihak-pihak yang terkait perkara disebutkan, maka proses penyidikan yang berjalan kemungkinan akan terganggu.
Namun yang jelas, dia memastikan ada dua pasal dalam UU 7/2017 tentang Pemilu yang dilanggar dalam proses pemungutan suara di Kuala Lumpur, yakni Pasal 544 dan 545.
"Kalau lebih lanjut saya jelaskan, kasihan penyedik-penyidik kami yang sedang berada di sana. Kita tinggal waktu 7 hari (proses penyidikan), biarkan kami konsentrasi proses penyidikan ini," tuturnya.
"Dan kami sudah menyampaikan kepada Ketua Bawaslu (Rahmat Bagja), begitu kasus ini tuntas P21 (berkas perkara lengkap) kita akan merilis secara utuh permasalahan khusus di Kuala Lumpur," demikian Djuhandhani menambahkan.
Adapun bunyi Pasal 544 UU Pemilu berbunyi: "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun, dan denda paling banyak Rp 72 juta".
Sedangkan bunyi Pasal 545 UU Pemilu adalah: "Setiap anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/kota, PPK, PPS, dan/atau PPLN yang dengan sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih dalam Pemilu setelah ditetapkannya Daftar Pemilih Tetap, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun denda paling banyak Rp 36 juta.