Jakarta, Kuasa Presiden RI Joko WIdodo (Jokowi) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) tetap memperbolehkan presiden berkampanye dalam Pemilu 2024.
Kuasa presiden itu turut menyinggung Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam argumennya, dalam sidang lanjutan gugatan UU Pemilu terkait pasal presiden dan wakil presiden boleh berkampanye di gedung MK, Selasa (6/2).
Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan DPR, Presiden, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk Perkara Nomor 166/PUU-XXI/2023.
Plh. Dirjen Politik dan PUM Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Togap Simangunsong selaku kuasa presiden menyampaikan keterangan Presiden Jokowi terhadap pelbagai dalil yang dimohonkan pada Perkara Nomor 166 tersebut.
"Keikutsertaan presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dalam pemilu hendaknya diletakkan dalam pemahaman sebagai sikap mereka untuk memilih salah satu peserta pemilu, baik ketika menggunakan hak suaranya maupun sikap untuk mendukung salah satu peserta pemilu dengan mengajak orang lain untuk ikut memilih pasangan calon tertentu atau ikut berkampanye dengan salah satu pasangan calon," ujar Togap dalam persidangan.
"Sebagai warga negara menggunakan hak suaranya maka hal tersebut sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum," sambung Togap.
Togap lantas menyinggung praktik presiden yang melakukan kampanye untuk mendukung salah satu calon di negara lain.
Contohnya, terang dia, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang mengampanyekan capres Hillary Clinton saat masih berkuasa dan Presiden Perancis Francois Hollande yang berkampanye untuk capres Emmanuel Macron dalam posisi yang sama pula.
"Aktivitas kampanye merupakan wujud dari pelaksanaan hak pilih secara universal sesuai dengan deklarasi universal Hak Asasi Manusia bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengambil sebagian dalam pemerintah negaranya secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas," kata Togap.
Terkait penggunaan citra diri menggunakan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam kampanye, Togap mengatakan pesatnya kemajuan teknologi telah mengubah cara kampanye politik dilakukan.
Togap menilai AI mempunyai potensi untuk menganalisa sejumlah besar data, mengidentifikasi pola dan tren, serta menargetkan kelompok pemilih tertentu dengan pesan yang disesuaikan.
Ia mengatakan dengan memanfaatkan kekuatan AI, para peserta pemilu dapat memperoleh wawasan berharga mengenai preferensi dan perilaku pemilih. Sehingga, lanjut Togap, mereka bisa menghasilkan strategi kampanye yang lebih efektif dan efisien.
"Bahwa mengatur penggunaan AI dalam kampanye menghambat inovasi teknologi dan membatasi kemampuan calon peserta pemilu untuk memanfaatkan alat dan teknik muktahir dalam berinteraksi dengan pemilih," terang Togap.
"Penggunaan AI dalam kampanye politik dapat meningkatkan aktor politik untuk berinteraksi dengan pemilih dan menyampaikan pesan mereka secara efektif. Dengan mengatur penggunaan AI dalam kampanye politik terdapat risiko pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi para aktif politik yang dapat melemahkan prinsip-prinsip demokrasi mendasari proses pemilu," sambungnya.
Selama belum ada larangan, Togap mengatakan penggunaan AI dalam kampanye tetap diperbolehkan dan tidak melanggar norma.
Lebih lanjut, presiden meminta agar MK menerima keterangan presiden secara keseluruhan. Selain itu, presiden juga meminta MK menyatakan sejumlah pasal yang dimohonkan oleh pemohon dalam perkara ini tetap sah.
"Menyatakan Pasal 1 angka 35, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 281 ayat (1) dan (2), dan Pasal 299 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum mengikat," jelas Togap.
Sebelumnya, Gugum mengajukan permohonan uji materiil terhadap sejumlah pada UU 7/2017 yakni Pasal 1 angka 35, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2), hingga Pasal 299 ayat (1) kepada MK.
Dia mengatakan UU Pemilu membolehkan Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota untuk berkampanye. Kendati demikian, Gugum menilai UU Pemilu belum memperhitungkan sisi nepotisme dan penyalahgunaan jabatan dalam kampanye.
Gugum juga mengatakan Pasal 5 angka 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme jelas melarang pejabat melakukan nepotisme.
Menurut dia, pejabat tidak boleh mengedepankan kepentingan keluarga dan 'kroni' di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
"Ketika Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota diperbolehkan kampanye caleg atau Paslon yang merupakan anggota keluarga atau terikat hubungan semenda dengannya, maka menurut kami pada saat itu telah terjadi pembiaran atas nepotisme," jelas Gugum kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/1
Dalam salah satu petitumnya, Gugum ingin MK mengubah ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU 7/2017 menjadi berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye sepanjang tidak terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan Pasangan Calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, serta tidak memiliki potensi konflik kepentingan dengan tugas, wewenang dan hak jabatan masing-masing."
"Jadi alasan permintaan petitum demikian adalah untuk mencegah jangan sampai Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Wali Kota dan pejabat lain melakukan nepotisme dalam kampanye," jelas Gugum.
MK telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini pada 21 Desember 2023. Lalu, sidang perbaikan permohonan pada 22 Januari 2024.
(pop/kid)