Jakarta - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Dimas Bagus Arya menanggapi pelaporan 3 pakar hukum tata negara yang mengisi film Dirty Vote ke Bareskrim Polri.
Dimas menilai pelaporan Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari itu adalah bentuk pembungkaman.
“Film Dirty Vote ini adalah bagian dari edukasi politik dan narasi-narasi kalau ini masa tenang, tidak ada kampanye. Loh, kita atau orang-orang yang bergerak di belakang layar Dirty Vote, sama sekali tak punya kepentingan agenda dengan parpol atau politik kampanye,” kata dia ditemui di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 13 Februari 2024.
Sebab itu menurut dia, semua masyarakat sipil dan warga negara itu punya hak untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan berpolitik bangsa. Menurut dia, logika semacam itu justru tak bisa ditangkap oleh orang-orang yang meneriaki pemilu damai.
“Kami juga melihat, sebenarnya mereka (pelapor) punya afiliasi yang sangat kuat terhadap salah satu paslon. Ini menunjukkan ada ketakutan atau kepanikan dalam menanggapi kritik atau suara warga,” katanya.
Menurut dia, film dokumenter garapan Dandhy Laksono itu sebaiknya digunakan sebagai partisipasi publik untuk mencerdaskan kehidupan politik secara kolektif. Dimas mengatakan, pelaporan itu menunjukkan bahwa Indonesia melalui pemerintahannya tak pernah mau mengakomodir kritik atau suara-suara warga.
“Pada akhirnya ini semakin memperlihatkan fenomena autokrasi legalisme atau penghukuman berbasis autokrasi itu masih menjadi salah satu senjata untuk melakukan pembungkaman penutupan ruang partisipasi publik,” kata Dimas.
Begitu pula, kata dia, penting meilhat kredibilitas dari tiga pakar hukum itu sebagai narasumber. Begitu juga dengan gerakan partisan, menurut Dimas, perihal adanya anggapan gerakan sektarian atau kecenderungan untuk kemudian mengakomodir pasangan tertentu.
“Terlepas dari mereka (3 pakar hukum) terlibat dalam tim Adhoc (Kemekopolhukam) itu, tujuannya kan sangat-sangat teknokratik. Sangat bertujuan pembenahan sistem hukum, sistem peradilan, juga sistem kehakiman di Indonesia yang sudah sangat bobrok,” kata dia.
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) resmi melaporkan sutradara dan tiga pakar hukum tata negara yang menjadi pemeran dalam film dokumenter Dirty Vote ke Mabes Polri.
“Kami sedang usaha laporkan. Kemarin kami telah laporkan hanya saja kekurangan berkas. Hari ini kami melengkapi berkas," kata Ketua Umum Foksi, M. Natsir Sahib, dalam pesan tertulisnya kepada Tempo, Selasa, 13 Februari 2024.
Natsir menilai film Dirty Vote yang membahas kecurangan Pemilu 2024 telah merugikan salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ikut berkontestasi. Dia menduga ada pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh keempat orang itu, terlebih film itu dirilis pada masa tenang menjelang hari pencoblosan.
"Di masa tenang memunculkan film tentang kecurangan Pemilu yang bertujuan membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres, itu bertentangan dengan UU Pemilu," ujarnya.